Rabu, 30 Oktober 2013

Renovasi Masjidil Haram, Renovasi Besar



Menag: Renovasi Masjidil Haram, Renovasi Besar

Masjidil Haram sedang dirombak secara besar-besaran untuk meningkatkan kapasitas tampung jamaah yang akan melakukan tawaf.
“Renovasi Masjidil Haram itu renovasi besar,” terang Menteri Agama Suryadharma Ali dalam jumpa pers di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, sepulang dari Arab Saudi untuk melakukan upaya lobi dan diplomasi, Kamis (27/06).
Renovasi itu, tambah Menag, juga dimaksudkan untuk memperindah Masjidil Haram dengan mengurangi sekitar 40% tiang-tiang yang selama ini ada.
Kenapa disebut renovasi besar, Menag menjelaskan bahwa itu bisa dilihat dari dua hal:
Pertama, proses renovasi sampai dilakukan dalam tiga tahapan. Tahapan pertama dan yang sekarang dalam proses pembangunan adalah memotong lantai 2 dan 3 untuk disambungkan dengan bangunan masjid baru sehingga tidak bisa digunakan untuk tawaf.
“Akibat dirobohkannya lantai 2 dan 3, kapasitas tampung tawaf yang asalnya 48.000 jamaah perjam menjadi hanya 22.000/jam. Jadi lebih dari 50% kapasitasnya berkurang,” terang Menag.
Menurut Menag, ketika bertemu Wakil Menteri Haji, Hatim Qaddhi, dan Menteri Haji ad interim Abdul Aziz Khoja yang juga Menteri Penerangan dan Kebudayan, keduanya menjelaskan bahwa kondisi Masjidil Haram saat ini sangat berantakan sehingga tidak memungkinkan untuk tidak ada pemotongan sebesar 20%.
Menag menambahkan bahwa jika pembangunan tahap pertama selesai, akan langsung dilanjutkan dengan pembangunan tahap kedua, kemudian tahap ketiga. “Bisa jadi setiap tahap itu satu tahun. Oleh karenanya penyelesaian renovasi besar-besaran itu akan selesai setidak-tidaknya diperkirakan pada tahun 2016,” ujar Menag.
“Target Pemerintah Arab Saudi memang pembangunan selesai tahun 2016, tapi mereka tidak menjelaskan itu pada bulan apa, apakah jauh dari bulan haji atau justru setelah bulan haji,” tambah Menag.
Sehubungan dengan itu, Menag mengatakan bahwa bisa jadi pemotongan sebanyak 20% itu akan berlangsung selama 4 tahun, yaitu 2013, 2014, 2015, dan 2016. “Mudah-mudahan pembangunan bisa lebih cepat hingga tahun 2016 sudah normal,” harap Menag.
Kedua, renovasi Masjidil Haram disebut renovasi besar-besaran karena akan dapat menambah kapasitas daya tampung tawaf mencapai 105.000/jam. “Sebelumnya, kapasitas tawaf Masjidil Haram 48.000 jamaah/jam. Dalam masa pembangunan, hanya 22.000/jam. Kalau sudah rampung semuanya, kapasitasnya meningkat menjadi 105.000/jam,” terang Menag.
“Dengan demikian, jamaah haji atau umrah pada tahun 2017 itu akan lebih nikmat dan leluasa,” imbuh Menag.
Agar kondisi terkini Masjidil Haram juga bisa dilihat oleh masyarakat Indonesia secara luas, Menag membawa oleh-oleh video kondisi riil pembangunan di sana.
“Mungkin besok akan kita bagi-bagikan sehingga rekan-rekan wartawan bisa memperlihatkan kepada khalayak kondisi Masjidil Haram yang sesungguhnya seperti apa, bagaimana rencana pembangunannya dan proses pengerjaannya,” kata Menag.
This entry was posted in Berita on June 28, 2013 by kbih.

Kamis, 24 Oktober 2013

Pendidikan kitab kuning

Pendidikan Kitab Kuning di Pesantren
Mukadimah
Pada umumnya, pondok pesantren (seterusnya disebut pesantren) dipandang sebagai sebuah sub-kultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut kaca mata umum. Di tengah perkembangan dunia yang semakin intensif dan ekstensif adalah suatu fenomena yang menarik jika terdapat kenyataan adanya lembaga pendidikan yang konsisten mengembangkan tradisi akademik dan intelektualisme tradisional secara otonom. Suatu fenomena yang menarik pula apabila di tengah skeptisisme atau bahkan sinisme banyak kalangan terhadap adabtabilitas pesantren (lagging behind the time), ia justru menunjukkan dinamika yang luar biasa. Kredo pesantren yang diulang-ulang dan dipegang teguh, al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah seakan menjadi jurus ampuh yang membentuk pesantren menjadi sosok yang terlihat modern akan tetapi sekaligus otentik pada tataran ontologi, espitemologi maupun aksiologi pemikiran.
Rahardjo (dalam Sulaiman, 2010: 5) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa sejak awal pertumbuhannya, pesantren memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi khusus yang berlaku bagi pesantren. Namun dalam perkembangannya tampak adanya pola umum sehingga pesantren bisa saja dikelompokkan ke dalam dua tipe yaitu pesantren modern (khalafiyyah) dan pesantren tradisional (salafiyyah). Keduanya mempunyai ciri-ciri utama yang berbeda di samping juga menyimpan salah satu ciri utama yang sama yaitu masih diselenggarakannya pendidikan kitab kuning meski dengan frekwensi dan tingkat keseriusan yang berbeda antara keduanya.


Metode Pendidikan Kitab Kuning
Kitab Kuning adalah salah satu dari elemen pendidikan pesantren yang utama selain kepemimpinan kyai. Dari kitab-kitab ini lah digali segenap tata nilai dan ilmu pengetahuan Islam pesantren. Kitab kuning sebagai hasil karya para ulama klasik yang nota bene merupakan kiblat nilai dan intelektual para civitas akademika pesantren menempati posisi yang utama dan sentral setelah Al-Quran dan Al-Sunnah. Dengan mengadaptasi tesis pemikiran Abu Zayd (2000; 9) yang menempatkan budaya Islam-Arab sebagai budaya teks maka tidak berlebihan bagi penulis menempatkan pula bahwa budaya pesantren adalah budaya teks yang terbentuk melalui cara berpikir referensial yang terpusat pada kitab kuning.
Jika Hasan Hanafi (2000; 9-10) melakukan kategorisasi keilmuan Islam menjadi tiga rumpun yaitu: ulum naqliyyah (ilmu-ilmu tekstual yaitu: hadits, tafsir, fiqh, sirah dan ulumul quran), ulum naqliyyah-aqliyyah (tekstual-rasional yaitu: ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan teologi) dan ulum aqliyyah (ilmu-ilmu rasional: sains dan humaniora) maka dalam rumpun ilmu-ilmu itu ada sekitar sembilan ratus (900) judul kitab kuning yang beredar di lingkungan pesantren dengan prosentase 20% dengan substansi fiqh dan ushul fiqh, teologi berjumlah 17 %, bahasa Arab (nahwu, sharf, balaghah) 12 %, hadits Nabi 8%, tasawuf 7 %, akhlak 6%, pedoman doa (wirid, mujarrabat) 5% dan karya puji-pujian kenabian (qishash al anbiya, maulid, manaqib) 6%. Pengadopsian ilmu-ilmu rasional dalam pesantren terjadi seiring perkembagan dunia pesantren yang bergerak kemudian dalam rangka merespon modernitas yang ditandai dengan kebangkitan ilmu-ilmu sains dan humaniora di dunia Islam.
Sedangkan terkait metode pendidikan kitab kuning, pesantren mengenal setidaknya tiga metode yaitu: wetonan (bandongan), sorogan dan hafalan. Metode wetonan merupakan metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dengan memberi makna gandul yang disebut dengan istilah ngasahi dan memberikan catatan bila perlu. Metode sorongan adalah di mana santri membaca kitab dan maknanya satu persatu di depan kiai. Kiai cukup menunjukkan cara baca yang benar. Adapun metode hafalan berlangsung di mana santri menghafal teks yang dipelajarinya baik berupa nadzam (syair) maupun makno gandul dan penjelasannya dalam bahasa daerah (masyhud, 2003; 89). Sedangkan sistem jalsah atau halaqah biasanya merupakan ajang debat akademik baik bagi dan antar santri senior, ustadz maupun kiai yang sudah mumpuni.
Lebih dari itu, pesantren memahami pendidikan tidak hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan melalui sistem dan metode yang ada tersebut, akan tetapi lebih kepada pengamalan ilmu pengetahuan melalui akhlak mulia sebagai the core of pesantren. Menurut Wahid (dalam Sulaiman, 2010; 140) perbedaan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan umum melahirkan perbedaan dalam cara siswa atau santri belajar. Orientasi mengejar nilai atau kelulusan mengharuskan siswa belajar tekun, mengikuti bimbingan belajar atau kalau perlu nyontek. Sementara di kalangan santri ketekunan dalam belajar dibarengi dengan tirakat, serta puasa senin-kamis atau puasa ngrowot (tidak makan nasi dalam jangka waktu beberapa tahun) sehingga pola kerja akal dibarengi dengan kekuatan batin. Lebih jauh Wahid mengemukakan bahwa di pesantren juga tidak ada ujian, kecuali dalam sistem klasikal sehingga tidak ada santri yang nyontek. Kalau santri sudah selesai pengajian suatu kitab maka ditutup dengan pembacaan doa bersama, pemberian ijazah dari kiai, atau izin untuk mengajarkan kitab yang dipelajari kepada orang lain.

Ontologi Kitab Kuning
Kitab kuning dalam disiplin bahasa Arab berkaitan erat terutama dengan masalah-masalah nahwu, shorf dan balaghah. Kitab kuning shorf paling dasar bagi para pemula adalah Al-Bina wa Al-Asas karya Mulla Al-Danqari, kemudian dilanjutkan kitab Al-Tashrif buah karya Ibrahmin Al-Zanzani atau kitab Al-Maqshud. Dalam bidang ini, kitab dalam bahasa jawa pun beredar misalnya kitab Al-Amsilah Al-Tashrifiyyah karya Muhammad Ma’shum bin Ali, asal Lasem, Jawa Tengah dan shorf mlangi hasil anggitan Kyai Nur Iman dari Mlangi, Yogyakarta. Setelah itu setingkat lebih tinggi ada kitab kuning syarkh (komentar) atas Al-Maqshud yaitu Hall Al-Maqal karya Muhammad Ullays (w. 1881 M) dan komentar atas Al-Tashrif yaitu Kaylani karya Ali Ibn Hisyam Al-Kaylani. Sedangkan dalam bidang Nahwu, kitab kuning pemula adalah Al-Awamil Al-Miah karya Abd Al-Qahir Ibn Abdirrahman Al-Jurjani (w. 471 H), Al-Muqaddimah Al-Ajrumiyyah karya Abu Abdillah Ibn Dawud Al-Shanhaji bin Ajrum (w. 723 H). Kemudian kajian nahwu tingkat menengah menggunakan Al-Durar Al-Bahiyyah yang dikenal dengan ‘Imrithi karangan Syarf Ibn Yahya Al-Anshari Al-Imrithi dan lebih tinggi lagi menggunakan kitab kuning Al-Mutammimah karya Samsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Ru’yani Al-Khatabi dan Alfiyyah Ibn Malik beserta kitab kuning syarkh yang dikenal dengan Ibn Aqil anggitan Abdullah bin Abdirrahman Al-Aqil. Adapun yang membahas balaghah sekurang-kurangnya ada tiga kitab kuning yang terkenal yaitu Al-Jauhar Al-Maknun karya Abdurrahman Al-Akhdari (w. 920 H/1514 M), Al-Mursyid Ala Uqud Al-Juman fi ‘Ilm Al-Maani wa Al-Bayan karya Jalaluddin Al-Suyuthi yang meupakan edisi nadzm dari ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan karya Sirajuddin Al-Sakkaki dan Al-Risalah Al-Samarqandiyyah karya Abu Al-Qasim Al-Samarqandi.
Sementara itu ilmu mantiq menyediakan teori-teori logika Aristoteles. Di kalangan pesantren ilmu ini sangat dibutuhkan terutama untuk mempertajam analisis fiqh dan penerapan ilmu ushul fiqh. Kitab kuning yang paling terkenal dalam masalah ini adalah Al-Sulam Al-Munawarraq fi ‘Ilm Al-Manthiq karya Al-Akhdar, pengarang kitab Al-Jauhar Al-Maknun. Komentar atas kitab kuning ini dibuatnya sendiri dalam Idat Al-Mubham min Ma’ani Al-Sulam. Selain itu ada satu lagi kitab kuning manthiq yang selalu dikaji di pesantren yaitu Isaghuzi, karya Atsiruddin Mufadhdhal Al-Bahri (w. 663 H/1264 M).
Sedangkan kitab kuning dalam bidang fiqh hampir semua yang beredar termasuk dalam kriteria fiqh Madzhab Syafi’i. Van Bruinessen mengungkapkan bahwa karya-karya fiqh Syafi’i berasal atau merupakan kreasi lanjutan dari tiga kitab kuning yang muncul sebelumnya yaitu Al-Muharrar karya Al-Rafi’i (w. 625 H/1226 M), Al-Taqrib karya Abu Syuja’ Al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) dan Qurrah Al-Ayn karangan Al-Malibari (w. 9756 H/1567 M). Dari garis Al-Muharrar lahir Minhaj Al-Thalibin karya Abu Zakariyya Yahya An-Nawawi (w. 676 H/1277-8 H). Kemudian generasi berikutnya kitab-kitab kuning yang ada merupakan syarkh atas Minhaj yaitu Tuhfah Al-Muhtaj karya Ibn Hajar Al-Haytami (w. 973 H/1565-6 M) dan Nihayah Al-Muhtaj karya Samsuddin Al-Romli (w. 1004 H/1595-6 M). Begitu juga Mughni Al-Muhtaj karya Khatib Al-Syarbini (w. 977H/1569-70 M), Kanz Al-Raghibin yang lebih dikenal dengan Al-Mahalli karya Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H/1460 M) dan Minhaj Al-Thullab karya Zakariyya Al-Anshari (w. 926 H1520 M). Generasi ketiga dari kitab Al-Muharrar adalah karya Al-Anshari, Fath Al-Wahhab yang merupakan ringkasan dari karyanya sendiri yaitu Minhaj Al-Thullab. Kitab kuning lainnya dari generasi ini hanya merupakan ringkasan dan intisari dari kitab kuning generasi sebelumnya. Sementara itu dari kitab Fath Al-Wahab lahir dua kitab hasyiyah (komentar atas komentar), masing-masing oleh Bujayrimi (w. 1221 H/1806 M) dan Jamal (w. 1204 H/1780-90 M).
Adapun dari kitab Ghayah wa Al-Taqrib karya Abu Syuja juga lahir dan berkembang sejumlah kitab kuning di lingkungan pesantren. Dari kitab ini muncul Al-Iqna’ karya Syarbini (w. 977 H/1569-70 M), Kifayah Al-Akhyar karya Al-Dimasyqi (w. 829 H/1426 M0 danb Fath Al-Qarib karya Ibn Qasim (w. 918 H/1512 M). Garis lain dari fiqh Syafi’i adalah Kitab Qurrah Al-‘Ayn karya Al-Malibari. Dari sini lahirlah Nihayah Al-Zayn karya Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Fath Al-Mu’in karya lanjutan Al-Malibari sendiri. Kemudian dua kitab kuning lain lahir dari Fath Al-Mu’in yaitu I’anah Al-Thalibin karya Sayyid Bakri (w. 1893 M) dan Tarsyih Al-Mustafidin karangan Alwi Al-Saqqaf (w. 1916 M).
Dalam daftar van den Berg ada garis lain yakni kitab kuning elementer abad ke 9 H, yaitu kitab Muqaddimah Al-Hadhramiyyah karya Abdullah bin Abdul Karim ba-Fadhal. Dari garis ini lahir Minhaj Al-Qawim karya Ibn Hajar, yang kemudian pada abad ke 18 melahirkan Al-Hawasyi Al-Madaniyyah karya Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi. Melalui garis ini, kitab kuning yang paling terkenal dan beredar di hampir seluruh pesantren di Jawa hanya kitab Minhaj Al-Qawim yang kandungannya terbatas pada fiqh ibadah saja. Adapun dua kitab komentar lagi atas kitab Al-Muqadddimah adalah karya Syaikh Mahfudz Al-Tirmisi dan Busyr Al-Karim bi Syarkh Masail Ta’lim ala Muqaddimat Al-Hadhramiyyah karya Said bin M. Bahsin. (Mochtar dalam Wahid, dkk (Ed.), 1999: 241-244).
Dalam bidang Ushul Fiqh pesantren mengenal beberapa kitab di antranya Al-Waraqat karya Imam Al-Haramayn (419-478 H/1028-1085 M), Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh karya Abu Ishaq Al-Syairazi Al-Syafi’i (w. 476 H), Lathaif Al-Isyarat dan Jam’ Al-Jawami’ karya Tajuddin Al-Subki (w. 769 H) serta Al-Asybah wa Al-Nadzair karya Jalaluddin Al-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M).Kitab Jam’ Al-Jawami’ karya Al-Subki mendapatkan komentar dalam Lubb Al-Ushul karya Abu Zakariya Al-Anshari. Lubb Al-Ushul sendiri mendapatkan komentar oleh Muhammad Al-Jauhari dan Abu Zakariya Al-Anshari dalam Ghayah Al-Wushul. Jalaluddin Al-Mahalli juga mempunyai komentar atas Jam‘ Al-Jawami’ yang kemudian mendapatkan komentar atas komentar dari Al-Bannani (Hanafi, 2004: 33)
Konvensi yang terjadi antara ulama pesantren untuk menjadikan kitab tertentu sebagai text book di pesantren-pesantren mereka dalam kurun waktu yang sekian panjang akhirnya memapankan kitab-kitab tersebut menjadi sumber pengetahuan, terutama keagamaan, di pesantren yang sulit tergantikan. Bukan hanya semata-mata sebuah konvesi yang terjadi akan tetapi karena kitab kuning telah membuktikan dirinya mampu membentuk kerangka berpikir santri yang taat kepada ajaran agama di samping ia sendiri mempunyai potensi besar sebagai sumber pengetahuan untuk merespon berbagai permasalahan hidup dan menerima untuk ditransformasikan dalam konteks kekinian dengan tetap mempertahankan apa-apa yang baik di dalamnya untuk diketahui dan terapkan.

Penutup
Pesantren, dengan Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber pengetahuan yang mutlak dan kitab kuning sebagai penunjang utama kontruksi pengetahuan dan nilai-nilai pesantren, telah menghadapi banyak tantangan di sekian babakan sejarah semenjak masa-masa formatifnya hingga periode perkembangannya kini. Pesantren terbukti mampu mengatasi dan melakukan penyesuaian diri yang terus menerus dengan berbagai pengembangan yang nyata namun kadang tersimpan dengan ciri khas masing-masing tanpa mengorbakan identitasnya.
Sekarang ini, tepatnya pada akhir dasawarsa pertama dan awal dasawarsa kedua abad XXI, pesantren dihadapkan bukan lagi pada tantangan globalisasi Barat di mana pesantren sanggup mempertahankan karakteristiknya tanpa lebur di dalam hegemoni modernitas, akan tetapi dihadapkan pada isu fundamentalisme dan radikalisme yang sangat mungkin terinpirasi pemikiran dan gerakan wahabisme global dan sudah merangsek semakin intensif dan ektensif di Indonesia. Akan kah pesantren mampu menyikapinya dengan bijak, memapankan dan menebarkan Islam ala pesantren sebagai Islam rahmatan lil alamin? Tantangan yang tidak mudah bukan? (HM. Anis Mashduqi)
Disadur dari :
Office: Jl. Ring Road Barat Mlangi Nogotirto Gaming Sleman Yogyakarta 55292 Pondok Pesantren An-Nasyath Telp (0274) 625809
( Mohon ijin saya menyadur dengan niat untuk da’wah kebaikan umat)

Kerjasama BP2KP Tuban dg BPTP Jatim

BPPKP Kab. Tuban pada tanggal 24 Oktober 2013 menyelenggarakan Kegiatan Sosialisasi Hasil Penelitian/Pengkajian BPPKP Kabupaten Tuban bekerjasama dengan BPTP Jawa Timur. Dihadiri Bupati Tuban Bapak KH. Fathul Huda, beliau memberikan sambutan, membuka secara resmi dan Satu-satunya Bupati se-Indonesia yang sekaligus dimohon dan berkenan memberikan Do'a. Narasumber dalam sosialisasi oleh Peneliti dari BPTP Karangploso Malang (BPTP - Jatim). Peserta sosialisasi dari Kontak tani, Penyuluh Pertanian dan Instansi terkait Kabupaten Tuban.

Rabu, 23 Oktober 2013

P4S

APA ITU P4S?
Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) adalah: lembaga pendidikan di bidang pertanian dan pedesaan yang dimiliki dan dikelola oleh petani-nelayan baik secara perorangan maupun berkelompok, dan bukan merupakan instansi pemerintah.
APA TUJUAN P4S?
1. Tujuan Umum
Terselenggaranya program-program pelatihan bagi para petani-nelayan di bidang pertanian, perindustrian dan usaha pedesaan lainnya secara teratur dan berkesinambungan.
2. Tujuan Khusus
a. Berkembangnya swadaya petani-nelayan dalam meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan wawasan berusaha sesama petani-nelayan.
b. Meningkatkan ketrampilan dan kecakapan petani-nelayan pemagang serta keyakinanya terhadap usaha tani sebagai pekerjaan atau sumber mata pencaharian.
c. Tumbuhnya kreativitas, sikap kritis, rasa percaya diri, dan jiwa kewirausahaan petani-nelayan pemagang.
d. Meningkatkan ketrampilan, kecakapan dan rasa percaya diri petani-nelayan pemagang maupun petani-nelayan pengajar.
e. Tumbuh dan berkembangnya hubungan sosial dan interaksi positif antara sesama petani-nelayan.
APA PRINSIP-PRINSIP P4S ?
Prinsip-prinsip P4S mempunyai azas dan ciri sebagai berikut:
1. Azas-azas P4S adalah demokrasi, swadaya, pengembangan usaha, dan keterpaduan.
2. Ciri-ciri P4S adalah dikelola secara swadana oleh petani-nelayan yang usahataninya maju, terletak di lingkungan usahatani milik pengelola dan dilaksanakan dengan prinsip permagangan, serta mendapat dukungan pemerintah daerah setempat.
BAGAIMANA ORGANISASI DAN MANAJEMEN P4S?
Organisasi P4S adalah sederhana dan dikembangkan sesuai kebutuhan. Keseluruhan manajemen P4S harus mampu mengakomodasi bentuk pelatihan yang bersifat permagangan yang menekankan pada keakraban dan kekeluargaan antara peserta pelatihan dan pengajar/induk semang. Sebagai lembaga swadaya masyarakat P4S dapat bernaung di bawah badan hukum yang berbentuk Yayasan atau Koperasi.
SIAPA SAJA PESERTA DIDIK P4S?
Peserta didik P4S adalah petani-nelayan khususnya pemudatani-nelayan/tarunatani-nelayan dan anggota masyarakat lain yang berminat mengembangkan usaha di bidang pertanian maupun non-pertanian. Peserta yang dilatih dapat perorangan ataupun berkelompok.
SIAPA PELATIH DI P4S?
Pelatih pada P4S pada dasarnya adalah para petani-nelayan pengelola P4S, yang dapat dibantu oleh para kontaktani-nelayan sekitar, guru, widyaiswara serta penyuluh pertanian setempat dan tenaga lain yang dianggap perlu.
SARANA PRASARANA YANG HARUS DIMILIKI PENGELOLA P4S
P4S seyogyanya memiliki sarana prasarana minimum sebagai berikut:
a. Tersedianya lahan/obyek usahatani dan non-usahatani yang dapat dipakai untuk praktek.
b. Tersedianya tempat menginap bagi peserta, baik di rumah petani pengelola maupun tempat lain di sekitarnya.
c. Tersedia ruangan untuk berkumpul dan belajar.
d. Adanya rencana kegiatan belajar tertulis.
BAGAIMANA PEMBIAYAANNYA?
Biaya penyelenggaraan P4S pada dasarnya swadana yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengelolaan dan peserta. Tidak tertutup kemungkinan mendapat bantuan dari pihak ketiga sebagai sponsor. Bila perlu pengelola P4S dapat memberikan imbalan atau bentuk kompensasi lain kepada peserta.
BAGAIMANA PENGELOLAAN BELAJAR PADA P4S?
Dalam menyelenggarakan P4S, perlu dibuat:
1. Rancangan pelatihan
Merupakan kombinasi antara �ikut belajar sambil bekerja� dengan pembekalan pengetahuan/ketrampilan secara terstruktur, berupa bimbingan teori atau praktek, baik di ruangan kelas, laboratorium/workshop maupun lapangan. Rancangan pelatihan sebaiknya disusun sesuai dengan musim dan jenis usahatani.
2. Kurikulum dan Materi
Kurikulum dan materi harus disusun seluwes mungkin disesuaikan dengan permintaan peserta didik, serta kemampuan yang dimiliki oleh penyelenggara pelatihan. Dalam menyusun kurikulum dan materi pelatihan, penyelenggara dapat bekerjasama dengan Balai Latihan Pegawai Pertanian (BLPP), Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP), Balai Latihan Industri dan Instansi lain yang terkait.
3. Metode Pelatihan
Metode belajar diutamakan yang memungkinkan peserta didik berpartisipasi aktif, dan menekankan kepada praktek, yang didasarkan atas pengalaman para pengelola. Pelajaran diberikan dalam bentuk kerja nyata sesuai dengan realitas di lapangan, sedangkan teori dalam bentuk kuliah/belajar di kelas hanya diberikan bila perlu saja.
4. Sistem Penilaian dan Akreditasi
Setiap pengelola P4S seyogyanya melaksanakan penilaian terhadap peserta didik melalui ujian/evaluasi akhir peltihan, dan bagi yang lulus diberikan sertifikat.
EVALUASI DAN BIMBINGAN LANJUTAN
Bimbingan lanjutan oleh pengelola P4S kepada mantan peserta magang dilaksanakan dengan jalan menjalin ikatan kerjasama dalam upaya menyebarluaskan teknologi, informasi pasar dan pemasaran hasil usahatani/non-usahatani serta memberikan bimbingan dan sekaligus membantu memecahkan masalah yang dihadapi alumni peserta magang.
Di samping itu, perlu dilakukan evaluasi penyelenggaraan dan evaluasi hasil permagangan secara bersama oleh pemagang, pengelola dan pengajar.




________________________________________
Copyright � 1997-2001 Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian
Jl. Harsono RM No.3, Ragunan-Jakarta 12550-Indonesia